By: Khoirul Mudawinun Nisa’, S.Pd.I
Seorang tetangga menggerutu. Dia penjual nasi pecel di jantung kota, menghidupi dua anak usia sekolah, sedangkan suaminya terkena serangan stroke yang melumpuhkan seluruh anggota badan bagian kanan hampir tiga tahun ini. Musabab gerutuannya adalah diberlakukannya jam malam pada bulan April 2020 lalu.
“Bayangkan, Mbak. Saya itu mulai jualan habis magrib, karena toko yang halamannya saya pakai untuk lapak baru tutup pukul 5 sore. Nah, sekarang kalau diberlakukan jam malam, saya bisa apa? Pelanggan nggak dapat, justru rugi di tenaga dan biaya. Memang beginilah nasibe wong cilik”.
Bukan sekali-dua kali saya mendengar ratapan serupa, di media sosialpun, saat itu rame memperbincangkan susahnya akses mengais rejeki di masa pandemi.
Corona, begitulah wabah ini disebut. Wabah yang tak kunjung musnah, namun justru memusnahkan ribuan manusia. Wabah yang menghentikan mobilitas manusia, hingga mesin-mesin pun turut berhenti yang berimbas pada stagnasi angka-angka di rekening maupun menipisnya uang di sela-sela dompet. Pandemi ini memang melahirkan dilema yang menyusahkan, terutama soal ekonomi. Ruang gerak semakin terbatas karena tuntutan social distancing yang berimbas pada penurunan penghasilan.
Inilah masa ketika kita menjadi saksi atas entah berapa ribu orang yang harus kehilangan pekerjaannya. Tak sedikit dari mereka yang berduyun-duyun pulang ke desa dan meninggalkan harapan yang kandas di sela gedung-gedung besar. Tak sedikit pula mereka yang berada di desa yang menerjang malapetaka dan mengabaikan pagar-pagar protokol kesehatan, semata karena demi sesuap nasi.
“Tidak akan lama” kalimat yang sering saya dengar dari orang-orang di sekeliling saya pada awal pandemi ini menghapiri Indonesia. Entah itu bentuk keyakinan mereka atau memang tersirat secercah harapan dalam kalimat tersebut. Nyatanya, Covid 19 masih kerasan singgah di Indonesia hingga saat ini dan entah sampai kapan? Kita memang berharap mimpi buruk ini segera berakhir, untuk bebas memperjuangkan masa depan demi kehidupan yang lebih mapan.
***
Pandemi ini tak hanya mengguncang aspek kesehatan dan perekonomian, tetapi juga pada aspek pendidikan. Berapa banyak kita jumpai kendala pada proses pembelajaran masa pandemi yang dapat berpotensi menurunkan kualitas penduduk Indonesia usia produktif. Seluruh siswa mengalami gangguan belajar. Gangguan proses belajar ini mayoritas dialami oleh kaum muda dan tentunya akan berdampak negatif pada hasil pembelajaran, perkembangan mental dan kualitas lulusan.
Indonesia sekarang ini memasuki fase bonus demografi, yang dipahami secara sederhana sebagai suatu kondisi dimana usia produktif (15-64 tahun) jumlahnya lebih banyak di banding usia tidak produktif. Dengan total jumlah penduduk 270,20 juta jiwa, saat ini ada 70,72 % masuk dalam usia produktif yang diperkirakan mencapai 191 juta jiwa. Secara teoritik, seharusnya bonus demografi diyakini bisa memacu pertumbuhan ekonomi dengan signifikan. Namun akibat terjangan corona, secara singkat usia produktif tersebut justru menjadi beban negara akibat banyak kasus PHK dan pengangguran di era pandemi covid-19 ini.
Ironis memang, SMK yang digadang-gadang mampu membuka lapangan pekerjaan melalui keahlian yang dimiliki malah menjadi penyumbang terbanyak angka pengangguran di Indonesia dengan prosentase 11,45%. SMA/MA menjadi penyumbang kedua angka pengangguran di Indonesia dengan prosentase 8,55%.
Pemuda memang tergolong pada kelompok yang sangat rentan akibat gangguan pandemi ini. Selain kehilangan pekerjaan, peluang ekonomi, kesehatan dan pendidikan merupakan beberapa faktor yang jelas terdampak pada fase penting kehidupan mereka. Apalagi dengan fakta orang muda yang lebih cenderung menganggur, membuat mereka rentan terhadap pengaturan kerja bahkan hingga PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
Kaum muda Indonesia tentu diharapkan mengambil suatu kunci harakah yang berbeda dengan pemuda lain di dunia. Keunggulan pemuda Indonesia dengan jumlah yang cukup besar, melebihi rata-rata jumlah pemuda yang ada di negara lain di dunia. Pemuda Indonesia diharapkan mampu membuktikan effort dan etos di tengah pandemi ini, dengan tetap sebagai kontributor utama dari bonus demografi Indonesia.
***
Pemuda Indonesia dituntut untuk kembali menggelorakan semangat kebangkitan nasional yang dimiliki bangsa Indonesia. Pemuda harus melawan lupa dan kemudian mengokohkan lagi semangat patriotisme dalam upaya melawan pandemi global yang menyerang hampir semua negara di dunia.
Sebagai pemuda yang hidup di zaman millineal, tentu akan lebih positif ketika mempunyai ghirah yang sama dengan para pelopor kebangkitan nasional. Penyaluran semangat itu tentu berbeda dengan para pemuda pada masa pra kemerdekaan. Pandangan mengenai pendidikan yang dijiwai effort pemuda dalam “menelanjangi” teknologi, tentu diharapkan melahirkan gaya baru dalam me-resolusi berbagai persoalan bangsa. Prinsip-prinsip pembelajaran dengan mengambil etos pelopor kebangkitan nasional, bukan hanya sebatas mengikuti perkembangan teknologi daring maupun kecerdasan buatan di zaman revolusi industry 4.0. Hal yang terpenting adalah menanamkan effort dengan pembelajaran otodidak baik itu menggunakan jaringan internet ataupun tidak.
Pemuda harus bangkit dalam menghadapi pandemi global ini. Setidaknya melalui dua cara berikut, yaitu: Pertama, harus berani menciptakan lapangan pekerjaan sendiri serta memberdayakan masyarakat. Pemuda-pemuda saat ini dibekali akan kemampuan ilmu dan teknologi yang lebih mumpuni di banding zaman sebelumnya. Menjadi pengusaha era modern ini tidak hanya dimiliki kesempatannya oleh kaum tua saja. Banyak kaum muda mulai terjun untuk membuka usaha secara mandiri. Memanfaatkan aplikasi jual beli online, merintis pendirian perusahaan promosi jual beli via media sosial, bisnis kuliner, bisnis pakaian dan seterusnya. Modal teknologi sudah mereka dapatkan, tinggal soal keberanian dalam memulai usaha.
Kedua, produktif di jejaring media sosial dengan membuat konten yang menarik dan mendidik. Sudah akrabnya kaum milenial soal media sosial misalny intagram, youtube, tiktok dan sebagainya ternyata bisa menghasilkan pundi-pundi uang. Dengan menjadi konten kreator, seorang bisa mendapatkan uang dari adsense berdasarkan like, view dan comment yang didapatkan. Pemuda-pemuda sekarang pasti sangat kreatif dan dibekali smartphone yang mumpuni, tinggal soal menyalurkan ide kreatif serta dipadukan pembacaan yang sedang nge-hits saat ini. Sehingga banyak yang melihat dan menonton konten yang dibuat yang berdampak signifikan terhadap pendapatan uang.
Kebangkitan generasi muda pasca pandemi diharapkan dapat menjadi jembatan pemulihan ekonomi dan kesejahteraan dalam melindungi hak-hak asasi manusia bagi keberlangsungan kemajuan Indonesia.